arrrblog

Selasa, 12 Juni 2012


PENGARUH SUHU DAN PH TERHADAP AKTIVITAS ENZIM AMILASE SALIVA
DENGAN METODE WOHLGEMUTS

1.         LATAR BELAKANG
Prinsip dasar yang digunakan didalam pemanfaatan enzim dalam membantu menentukan diagnosa adalah dari kenyataan bahwa didalam darah ada dua kelompok enzim yaitu enzim yang secara normal ada dan berfungsi didalam darah yang dinamakan kelompok fungsional plasma enzim dan kelompok enzim yang normal tidak berfungsi didalam darah tetapi terdapat didalam darah, dan dinamakan non fungsional plasma enzim. Kelompok kedua ini normalnya terdapat didalam sel. Dia dapat berada didalam darah diduga karena proses difusi atau karena sel – sel tua yang mengalami regenerasi pada saat sel tersebut dirusak isinya akan dapat tumpah dan sebagian tertuang kedalam darah atau dengan cara lain yang belum diketahui. Dengan demikian logikanya kalau enzim dalam kelompok dua ini kadarnya dalam darah meningkat pasti ada kerusakan minimal pada dinding sel yang berisi enzim tersebut.
2.         TUJUAN
Setelah menyelesaikan program ini dengan baik mahasiswa F.K Unlam semester I diharapkan :
Tujuan Umum :
Memahami kinetika enzim.
Memahami manfaat enzim dalam kehidupan sehari – hari maupun dalam membantu menegakkan diagnosa.
Tujuan Khusus:
Mampu menyebutkan faktor- faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi enzimatik.
Mampu membedakan enzim fungsional dan enzim non fungsional dalam plasma.
Mampu menyebutkan masing – masing dua contoh enzim fungsional dalam enzim non fungsional dalam plasma.
Mampu menyebutkan contoh pemeriksaan enzim yang dapat membantu menegakkan diagnosa.
Mampu merencanakan pemeriksaan enzimatik yang dapat menunjang diagnosa suatu kasus tertentu.
PRINSIP DAN METODE PRAKTIKUM


A.         Prinsip
Amilase saliva adalah enzim yang terdapat dalam air ludah. Enzim ini bekerja pada pati dan dekstrin (atau juga Glikogen ) dan mengubahnya menjadi maltosa, dengan hasil antara amilo dekstrin, eritrodekstrin, dan aktrodekstrin
B.        Alat dan bahan
Alat:                                                             Bahan:
a.       Plat Tetes                                           1. Saliva
b.      Pipet Tetes                                        2. Amilum
c.       Beaker Glass                                     3. Iodium
d.      Labu Erlenmeyer                             4. Aquadest
e.      Stopwatch

C.        Cara Kerja
1.       Menyiapkan alat dan bahan
2.       Probandus berkumur – kumur dengan aquadest.
3.       Saliva dikeluarkan dan dikumpulkan di dalam beaker glass.
4.       Encerkan saliva 1 ml dengan aquadest 25 ml.
5.       Siapkan 3 buah erlenmayer dengan suhu 270 C, 370 C, dan 1000 C.
6.       Masukkan 5 ml kanji ke dalam masing – masing erlenmayer.
7.       Masukkan buffer fosfat pH 7 2 ml ke dalam masing – masing erlenmayer dan diamkan dalam 2 menit.
8.       Masukkan saliva yang telah diencerkan dalam masing – masing Erlenmeyer.
9.       Nyalakan stopwatch.
10.   Teteskan 2 tetes larutan pada plat tetes kemudian tambahkan iodium 1 tetes.
11.   Jika larutan berwarna biru, ulangi lagi cara 10 hingga larutan berubah warna menjadi coklat.
12.   Catat perubahan yang terjadi  dan hitung waktu yang diperlukan.



   

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.        HASIL PRAKTIKUM
1.       Probandus
Nama              : Tn. ARS
Jeniskelamin   : Laki-laki
Umur               : 19 tahun
BB/TB              : 69 kg / 161 cm
Suku/Bangsa   : Indonesia
2.       Hasil Pemeriksaa
Suhu 1000 C.
Pada suhu 1000 C tidak terjadi perubahan warna ( tetap berwarna biru). Perhitungannya adalah :
No
Menit
Warna

































No.                         Menit                                    Warna
Biru kehitaman

Biru kehitaman

Biru kehitaman

Biru kehitaman

Biru kehitaman

Biru kehitaman

Biru kehitaman
B. PEMBAHASAN

Pada percobaan yang dilakukan kali ini, yakni menguji aktivitas enzim amylase saliva dengan metode Wohlgemut’s, bertujuan untuk mengetahui durasi waktu yang dibutuhkan oleh cairan saliva untuk mencerna karbohidrat dengan bantuan pewarnaan lugol (reagen iodium). Dalam percobaan yang dilakukan, hasil yang didapat bahwa waktu yang dibutuhkan saliva untuk mencerna amillum (cairan kanji) secara keseluruhan adalah sekitar lima menit.

Pada menit-menit awal, percernaan amillum oleh saliva ini masih belum sempurna ditandai dengan masih terbentuknya warna kehitaman pada plat tetes yang ditetesi lugol dan menandakan bahwa masih ada kandungan amillum dalam objek yang diamati sekaligus menanadakan kerja saliva yang belum sempurna. Namun, lama-kelamaan specimen dalam plat tetes yang diamati menunjukkan perubahan warna ketika ditetesi lugol yakni bertambah terang warnanya dan akhirnya hanya warna lugol yang terlihat (kuning karat).

Percobaan pengaruh suhu terhadap reaksi enzimatik ini juga mengamati bagaimana aktivitas enzim diukur menurut suhu. Peningkatan suhu akan meningkatkan laju reaksi, akan tetapi bila melewati suhu optimum (suhu dingin atau panas yang ekstrim), akan menurunkan aktivitas enzim, yang biasanya disebabkan oleh denaturasi protein pada enzim.

Saliva mengandung enzim amilase. Amilase merupakan enzim yang bertugas sebagai katalisator sistem pencernaan dalam proses hidrolisis amilum yang menghasilkan glukosa/maltosa. Amilosa merupakan polisakarida yang polimernya berantai panjang dan tidak bercabang, tetapi berbentuk spiral. Molekulnya terbentuk dari 300-400 monomer glukosa yang mempunyai ikatan a-1,4. Glukosa ini larut dalam iodium sehingga menjadi warna biru. Hal ini disebabkan adanya daya adsorbsi iodium yang masuk ke dalam uliran spiral amilosa.. Amilopektin dikenal sebagai glukosa yang molekulnya berantai panjang. Amilopektin jika ditambahkan iodium akan menjadi warna merah keunguan.

Larutan substrat yang digunakan adalah amilum, karena antara amilum dan amilase memiliki hubungan dalam proses pencernaan. Amilase akan menghidrolisis amilum menjadi maltosa. Penambahan HCl pada larutan substrat ini sebagai pemberi elektrolit Cl- agar aktivitas dari ptialin meningkat.

Pada praktikum ini juga digunakan larutan buffer dengan pH 6,5 untuk menjaga agar suasana tetap stabil sesuai dengan keadaan tubuh manusia secara fisiologis. Penambahan NaCl 0,9% berperan dalam mengaktifkan atau sebagai aktivator dari enzim amilase salivarius. Selain itu, larutan ini juga berfungsi sebagai larutan isotonis yang dapat menciptakan kondisi fisiologis yang sesuai dengan kondisi mulut sehingga enzim a-amilase saliva dapat bekerja optimal.



Penambahan HCl 0,05 N pada larutan berfungsi untuk menciptakan suasana asam karena pada larutan tersebut akan ditambahkan KI-KIO3 yang berfungsi sebagai indikator warna. KI-KIO3 pada suasana asam akan melepaskan iod dan akan memberikan warna pada larutan.

Pada periode 0’, larutan berwarna biru dikarenakan belum adanya enzim yang menghidrolisis substrat (amilum), sehingga amilum berikatan dengan iod.

Pada suhu 0o C enzim dapat dikatakan inaktif dan reaksi yang berlangsung bersifat reversibel, enzim dalam keadaan tidak terdenaturasi, dan karena suhu yang rendah aktivitas enzim berkurang bila dibandingkan aktivitas enzim suhu optimum. Sehingga warna substrat berwarna hitam karena amilum berikatan dengan iodine.

Pada suhu 27 oC, warna kuning pada tabung 10’, 15’, dan disebabkan pada kondisi tersebut enzim bekerja dengan menguraikan amilum menjadi maltosa, sehingga hanya sedikit iodine yang diabsorpsi oleh amilum. Pada keadaan ini enzim telah berikatan sepenuhnya dengan substrat yaitu amilum sehingga iodium tidak mempunyai tempat lagi untuk bereaksi dengan enzim yaitu amilase dan warna yang dihasilkan kuning.

Semakin banyak ion iod yang terlarut, warna kuning akan semakin tua yang masing-masing menunjukkan tahapan hidrolisis amilum oleh enzim a-amilase saliva. Enzim a-amilase saliva menghidrolisis amilum dan menghasilkan satuan maltosa kira-kira 60-70% dari total amilum sedangkan sisanya sedagai dekstran.

Pada tabung reaksi 10’ terjadi kesalahan percobaan akibat KI-KIO3 pada alat dan bahan tidak dalam keadaan baik lagi sehingga menyebabkan pengulangan penambahan KI-KIO3. Akibatnya nilai absorbansinya menurun.

Perubahan kanji (amilopektin dan amilosa) menjadi glukosa berawal di dalam mulut. Kelenjar liur mensekresikan sekitar 1 liter cairan per hari yang mengandung musin liur dan amilase-α liur. Musin liur adalah suatu glikoprotein licin yang penting untuk melumasi (lubrikasi) dan menyebarkan (dispersi) polisakarida. Amilase-α secara acak menghidrolisis ikatan α-1,4 internal antara residu glukosil dalam amilopektin, amilosa, dan glikogen, mengubah polisakarida yang berukuran besar menjadi polisakarida yang lebih kecil yang disebut dekstrin. Amilase-α bekerja pada ikatan internal di tempat yang terpencar-pencar dalam rantai polisakarida. Karena alas an ini amilase-α disebut suatu endoglikosidase. Sebaliknya, eksoglikosidase bekerja secara berurutan dari satu ujung pada rantai karbohidrat. Makanan bergerak dari mulut melalui esofagus masuk ke dalam lambung, tempat kerja amilase-α dihentikan oleh pH yang asam, yang menyebabkan denaturasi enzim.

Pada manusia, peran amilase liur mencerna sangat sedikit kanji dari kanji total yang dimakan. Fungsi utama amilase liur mungkin adalah membersihkan remah-remah kue dan sisa makanan lainnya yang terselip di antara gigi.

Terdapat lima cara utama aktivasi enzim dikontol sel.

    Produksi enzim dapat ditingkatan metabolisme ya atau diturunkan bergantung pada respon sel terhadap perubahan linkungan. Bentuk regulasi ini disebut induksi atau inhibisi enzim.
    Enzim dapat dikompartemenkan dengan lintasan metabolisme yang berbeda-beda yang terjadi dalm kompartemen sel yang berbeda. Contoh asam lemak di disintesis oleh sekelompok enzim dalam sitosol.
    Enzim dapat diregulasi oleh inhibitor dan aktivator.
    Enzim dapat diregulasimelalui modifikasi pasca-translasional. Hal ini dapat meliputi fosforilasi, miristolasi dan glikosilasi.
    Beberapa enzim dapat menjadi aktif ketika berada pada lingkungan yang berbeda.

Kelenjar saliva kelihatannya menjadi teka-teki kepada sebagian besar penguji terlepas dari kemudahan pemeriksaan dan frekuensi kelainan saliva. Pasien cenderung mencari perhatian medis ketika parotis atau kelenjar submandibula membesar atau nyeri. Sering terjadi kebingungan tentang kemungkinan pembengkakakan terjadi pada nodus limpatik atau kelenjar saliva. Perawatan tidak selalu harus, namus sejak para spesialis menduga umumnya terjadi dan kondisi neuroplastik. Bahkan pada keadaan kontraksi berat pada daerah kepala dan leher, keadaan tersebut masih berfrekuensi tidak stabil. Literatur terbaru yang dapat membantu pasien dengan perawatan pasien dengan kondisi yang tidak umum seringkali dapat lditemukan di text umum otolaryngology atau jurnal yang memiliki banyak sumber. Gangguan pada kelenjar saliva menjengkali setiap menjengkali setiap leretan kondisi yang dapat mempengaruhi jaringan saliva.





















BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Dari hasil praktikum yang diperoleh, dapat diambil kesimpulan bahwa:

    Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi daya kerja enzim.
    Pada suhu 0oC, enzim amilase mengalami inaktivasi dan aktivitasnya berkurang secara linear, dengan nilai korelasi 0,4628.
    Enzim akan bekerja optimal pada suhu optimumnya, pH optimum pada percobaan ini adalah 27o C, padahal menurut teori 37o C.
    Pada suhu 100oC, enzim amilase mengalami denaturasi dan aktivitasnya berkurang secara linear dengan nilai korelasi –0,103.
    Enzim akan terdenaturasi bila dipertahankan pada suhu melebihi suhu optimum.





5.2 SARAN

Dari praktikum yang telah dilakukan diharapkan alat dan bahan ditambah kualitas dan kuantitasnya. Sehingga setiap praktikan memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan praktikum. Akibat keterbatasan peralatan maka yang benar-benar melaksanakan percobaan hanya beberapa orang saja, dan sisanya hanya menjadi penonton.





DAFTAR PUSTAKA



Anonymous. Modul Praktikum Biokimia Kedokteran. Banjarbaru: Bagian Biokimia Kedokteran FK Unlam 2010.

Murray RK, Graner DK, Rodwell VW. 2009. Biokimia Harper edisi 27. Jakarta: EGC.

Gaber F, Acevedo F, Delin I, Sundbland B-M, Palmberg L, et al. Saliva is one likely

source of leukotriene B4 in exhaled breath condensate. European respiratory journal 2006; 28; 1229-1235.

Ehlert U, Erni K, Hebisch G, Nater U. Salivary {alpha}-Amylase Levels after

Yohimbine Challenge in Healthy Men. The Journal of Clinical endocrinology

& metabolism 2006; 91; 5130-5133.

Suwandi M, Wibisono LK, Sugianto B, Rahman A, Kotong H. 1989. Kimia Organik.

Fakultas kedokteran UI, Jakarta.

Marks, Dawn B., Allan D. Marks, Colleen M. Smith. 2000. Biokimia Kedokteran

Dasar. EGC, Jakarta